Selasa, 07 April 2015

Edisi April: PERSADA SASTRA ready

Selamat awal bulan sahabat Kopi Aksara Publisher...


Berikut admin akan mengumumkan penulis yang karyanya dimuat majalah kesusastraan PERSADA SASTRA edisi April 2015. Penasaran kan??

Eits, tunggu dulu. Yang ingin membelinya, di luar surabaya-Malang, silakan langsung mengubungi admin. Harga Rp. 15.000. Untuk yang mau berlangganan 6 bulan (cuma Rp. 75.000), yang berlangganan 12 bulan (cuma 120.000). Mari membuka wawasan tentang sastra, dan tak kalah penting, membeli majalah ini berarti turut membantu meningkatkan geliat sastra sekaligus mengapresiasi penulis sastra yang bertalenta.

Cekidot.........
‪#‎Rubrik‬ Poros Kebudayaan
-Suparto Brata (Surabaya-Jawa Timur)

‪#‎Mimbar‬ Puisi
-Kinanthi Anggraini (Magetan-Jawa Timur)
- Agung Yuli (Lamongan-Jawa Timur)
-Suparna Hadta (Tarakan-Kalimantan Utara)

#Rubrik Cerpen
-W.N. Rahman (Blitar-Jawa Timur)

‪#‎Kritik‬ Populer
Dimas Indianto (Papringan-D.I. Yogyakarta)

‪#‎Sastra‬ Masuk Sekolah (SMS)
-Ida Selfia (SMA Islam Sudirman, Grobogan-Jawa Tengah)
Selamat buat sahabat sekalian. Untuk daerah di provinsi lain yang belum hadir, silakan berkompetisi ria dengan kirim karyamu ke redaksi: kopiaksara@gmail.com.
Edisi Mei sudah menanti. Deadline 15 April 2015.

info lebih lanjut: www.kopiaksarapublisher.blogspot.com
fp: kopi aksara publisher, cv

Jumat, 13 Maret 2015

Rasa Hayat Budaya

 :: Sunu Catur Budiyono (2/15)

Dalam kehidupan kesehariannya, manusia tidak bisa dilepaskan dari rasa di dalam dirinya, seperti rasa enak, rasa tidak nyaman, rasa sungkan, rasa hormat, atau rasa aeng. Berbagai kompleksistas rasa yang dimiliki oleh setiap warga budaya tersebut masing-masing terinternalisasi dan tereksternalisasi dengan cara yang berbeda pula. Demikian juga, terkait dengan pemahaman dan penghayatan terhadap fenomena budaya yang mereka hayati.
 
Rasa hayat (dalam konteks budaya Jawa) dapat dilihat berdasarkan gugus budaya yang tumbuh, berkembang, dan disokong pendudukungnya. Masing-masing gugus budaya tersebut memiliki rasa hayat budaya yang berbeda sesuai dengan nilai, pandangan dunia, dan religiusitas pendukungnya. Gugus budaya Jawa secara kasar dapat dibedakan ke dalam tiga kelompok besar, yakni (a) daerah kebudayaan negarigung (keraton dan sekitarnya), (b) daerah kebudayaan mancanegari, dan (c) daerah kebudayaan brang wetan (pesisir timur).

Masing-masing gugus kebudayaan mempunyai rasa hayat sendiri. Sebagaimana di kemukakan oleh Kuntowijoyo bahwa apa yang sakral bagi wong cilik mungkin tidak sakral bagi raja. Bulan Sura, tari bedaya, dan Nyi Roro Kidul dikeramatkan oleh wong cilik tapi tidak bagi raja. Bagi raja, upacara kawin pada bulan Sura bukan pantangan, tari bedaya adalah tarian asmara, dan Nyi Roro Kidul adalah "isteri" raja-raja Jawa. Bagi wong cilik, lelembut (jin) diberi makan bunga-bungaan dan kemenyan, bagi santri Jin dapat disuruh-suruh sebagai khadam (abdi). Maka, rasa hayat tersebut juga berbeda-beda gejalanya. Lelembut adalah kawan bagi raja, pesuruh santri, dan dimuliakan oleh wong cilik. Dengan kata lain, lelembut terjangkau oleh raja dan santri, tetapi menakutkan bagi wong cilik. Bagi wong cilik lelembut termasuk daftar rasa hayat tragis, sementara bagi raja dan santri tidak. Bagi wong cilik kelaparan, kemiskinan, kriminalitas, dan gagal panen adalah tragedi. Kelaparan, kemiskinan, dan gagal panen tidak mungkin mengenai raja.